![]() |
pic source: pixabay.com |
Judulnya sungguh bikin geleng-geleng kepala yaa, hahaha 😂. Tapi emang benaran deh, pungli yang dialami adik saya ini benar-benar gak terduga. Jadi jika ada yang bilang "hari gini masih ada pungli?" Hmm, di banyak daerah, pungli memang masih susah dihilangkan. Salah satunya di daerah kami, hahaha *tertawa kecut* 😫
Kejadian kurang mengenakkan ini dialami oleh adik bungsu saya, pagi tadi. Adik bungsu saya ini insyaallah akan menikah selepas Idul Fitri (3 minggu pasca lebaran). Maka beberapa hari terakhir ia mulai mengurus berkas-berkas untuk keperluan nikahnya. Berkas pertama yang ia siapkan adalah surat pengantar nikah dari kelurahan.
Agar gak menyusahkan staf kelurahan, adik saya berinisiatif membuat sendiri surat pengantarnya dan ke kelurahan hanya untuk minta tanda tangan Lurah. Namun sepertinya ia gak berjodoh dengan Ibu Lurah karena saat adik saya datang, si ibu sedang keluar. Adik saya pun menitip surat tersebut pada staf magang yang ada di situ.
Keesokan harinya, si anak magang menghubungi adik saya, mengabarkan bahawa suratnya belum bisa ditandatangani Ibu Lurah karena ada hal yang harus dijawab adik saya sebelum Ibu bertandatangan. Anak magang itu mengatakan bahwa adik saya harus datang dan bertemu secara langsung dengan Ibu Lurah. Namun saat itu adik saya sedang gak di rumah (fyi, adik saya seorang guru, jadi saat itu ia sedang berada di sekolah dan jarak antara kantor lurah dan sekolah tempatnya mengajar adalah 18 km). Adik saya kemudian meminta tolong pada mama untuk ke kantor kelurahan dan bertemu Ibu Lurah.
Saat bertemu mama, Ibu Lurah bertanya apakah adik saya sudah menerima uang adat (uang adat adalah uang yang diserahkan pihak calon mempelai pria kepada mempelai wanita berdasarkan perhitungan adat). Mama menjawab, IYA. Seketika itu, tanpa malu, Ibu Lurah langsung meminta bagian. Gak tanggung-tanggung ia meminta sebesar Rp. 350.000,-. Karena gak mau ribet, mama pun membayarnya. Namun karena gak membawa uang sebesar itu, mama harus pulang ke rumah mengambil uangnya dan kembali lagi ke kelurahan untuk memberi uang yang diminta oleh Ibu Lurah ba**sat itu.
Seolah gak puas, si ibu masih juga meminta tambahan. Ia memberitahu mama bahwa mama harus membayar uang untuk surat pengantar nikah yang diambil oleh adik laki-laki saya 2 minggu sebelumnya (kebetulan adik laki-laki saya juga akan menikah seminggu pasca lebaran namun nikahnya di kabupaten yang berbeda dengan tempat tinggal kami saat ini).
Huhuhu, saya geram banget deh mendengarnya saat diceritakan adik saya. Saking geramnya, dalam hati saya berdoa, semoga ibu itu akan menjadi pengemis untuk selamanya, ckckck.
Ibu Lurah ini adalah contoh pemimpin yang gak amanah. Ia memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bayangin aja, saat zaman udah berubah, revolusi mental udah digaungkan kemana-mana, tanpa malu ia masih melakukan pungli yang ia samarkan sebagai uang adat yang harus diserahkan ke kelurahan. What? Sejak kapan orang kelurahan berhak meminta uang adat dari calon mempelai yang akan menikah? Mintanya pake acara maksa pula. Ckckck, pejabat tapi mental pengemis 😠. Maaf gaes, saya terlalu marah pada hal ini.
Adik saya benar-benar gak ikhlas mengeluarkan uang Rp. 350.000,- untuk selembar surat pengantar, namun mama menasehatinya untuk mengikhlaskan semuanya. Duh, mama, tahu gak sih, berat banget harus mengikhlaskan semua itu. Seharusnya, mereka adalah pelayan masyarakat yang gak boleh melakukan pungutan liar kepada masyarakat karena melayani masyarakat adalah tugas mereka. Negara sudah membayar mereka untuk itu!
Saya berharap, semoga adik saya adalah orang terakhir yang mengalami kejadian buruk ini. Semoga gak ada lagi calon penganten yang digituin sama oknum lurah saat mereka meminta surat pengantar nikah dari kelurahan.