Kurang Lebih empat tahun lalu, wajah adik lelaki saya membengkak dan menghitam. Saya kaget karena saat terakhir bertemu dengannya, kondisi wajahnya tidaklah seperti itu. Saat saya tanya mengapa wajahnya bisa begitu? Dia juga tidak tahu jawabannya. Yang dia katakan adalah sejak wajahnya seperti itu, ia juga mulai sering mati rasa, bahkan saat jarinya luka dan tersengat api, ia tidak merasakan sakit.
Jawabannya membuat saya khawatir. Saya langsung menyarankan agar ia segera ke dokter tapi saat itu saya bingung menyarankan ke dokter apa. Saya cuman bilang agar ia segera ke puskesmas untuk memeriksakan kondisinya. Ia tak menolak tapi juga tidak mengiyakan. Saya asumsikan, ia mungkin sedang berpikir harus ke dokter apa.
Beberapa hari berikutnya, ia minta ditemani ke dokter spesialis kulit dan kelamin (SPKK). Saya heran kok ke dokter kulit? Ia cuman menjawab bahwa sepertinya yang bisa mendiagnosa penyakitnya adalah dokter SPKK. Dan benar saja, setelah memeriksa dan mewawancarai adik saya, dokter mendiagnosa adik saya terkena kusta. Beliau langsung merujuknya melakukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa, dan setelah hasil labnya keluar, memang benar adik saya positif terkena kusta.
Jujur saja, saat pertama kali mendengarnya terkena kusta, hati saya menangis. Kok bisa adik saya yang pembersih, rajin perawatan (bahkan ia lebih rajin perawatan kulit dibanding saya), punya impian untuk traveling keliling Indonesia harus terkena penyakit ini? Penyakit yang memiliki stigma buruk di masyarakat? Huhuhu. Dan seperti yang saya duga, adik saya sangat terpukul. Apalagi dokter menyatakan bahwa ia harus menjalani pengobatan secara rutin selama setahun. Membayangkannya saja sudah membuat mentalnya down, sedih dan takut.
Dokter SPKK langsung memberi rujukan untuk mengambil obat kusta di salah satu puskesmas di Kota Baubau. Dalam menjalani pengobatannya, saya melihat perjuangan adik saya yang lumayan berat. Syukurlah di puskesmas tempatnya mengambil obat ia bertemu perawat dan pengelola program kusta yang friendly dan hangat. Setiap adik saya datang mengambil obat, si perawat selalu memberi semangat agar adik saya sabar menjalani pengobatannya. Si perawat juga menjelaskan hal-hal tidak mengenakkan yang akan terjadi di tubuh adik saya selama menjalani pengobatan sehingga ketika hal tidak mengenakkan itu dialami, adik saya sudah tahu dan tidak panik. Sungguh si perawat sangat berperan penting dalam perjalanan pengobatan kusta adik saya.
Si perawat juga menenangkan hati adik saya saat adik saya mengalami perlakuan kurang menyenangkan dari atasan dan rekan-rekannya di kantor. Si perawat mengatakan bahwa mereka itu belum teredukasi mengenai penyakit kusta. Ia meminta adik saya untuk tetap sabar dan terus semangat menjalani perawatan. Si perawat berkata bahwa hal buruk itu tidak akan terjadi selamanya karena usai setahun menjalani pengobatan, insyaallah penyakitnya akan sembuh dan semua akan kembali baik-baik saja.
Mendengar cerita adik saya tentang perawat yang mendampinginya membuat saya terharu dan tenang. Saya semakin yakin adik saya akan tegar menjalani pengobatan dan pada akhirnya sembuh dari kusta karena didampingi oleh perawat yang andal.
Dan setelah perjuangan panjang melelahkan, adik saya berhasil menyelesaikan pengobatannya dan dinyatakan sembuh oleh dokter. Wajah yang sebelumnya menghitam dan membengkak perlahan-lahan membaik hingga akhirnya warna kulit dan kondisinya kembali seperti semula dan alhamdulillah kini ia telah menikah dan memiliki anak.
Setelah membersamai perjalanan adik saya dalam menjalani pengobatan kusta, saya berkesimpulan bahwa selain semangat, kesabaran dan kegigihan pasien, perawat dan pengelola program kusta memegang peranan penting dalam pengobatan dan penyembuhan pasien kusta. Angkat topi buat para perawat dan pengelola program kusta, kalian adalah pahlawan.
Ratna Indah Kurniawati, Melawan Dusta Kusta
Dan ngomong-ngomong tentang perawat dan pengelola program kusta, saya juga mengenal satu sosok yang sangat menginspirasi, Namanya adalah Ratna Indah Kurniawati, seorang perawat di Puskesmas Grati Pasuruan yang sejak tahun 2008 mendedikasikan diri untuk merawat pasien kusta sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat terkait fakta dan mitos tentang penyakit kusta.
Data WHO yang menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar jumlah kasus kusta di dunia membuat Ratna semakin termotivasi untuk mengedukasi masyarakat. Beliau tidak hanya mengedukasi secara teori, tapi juga melakukan hal yang menyentuh sisi emosi masyarakat. Selain memberikan bantuan pengobatan dan pengetahuan kepada penderita kusta, Ratna juga melakukan pendekatan sosial, salah satunya dengan berkunjung ke rumah-rumah warga mengajak mereka berkumpul dan memberi edukasi tentang kusta. Ratna bahkan tak segan makan bareng dengan penderita kusta, beliau menjelaskan bahwa penularan kusta itu tidak instan layaknya penularan flu.
pic source: youtube wartabromo tv |
Tidak hanya itu, Ratna juga membimbing para penderita kusta agar dapat hidup mandiri. Ia memberikan pelatihan dan motivasi agar mereka memiliki usaha sendiri. Salah satu orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) yang kini sudah berhasil hidup mandiri adalah Pak Amat yang menderita kusta sejak tahun 1997. Pak Amat kehilangan jari-jarinya akibat penyakit kusta yang membuatnya hanya bisa bekerja serabutan dan menggantungkan hidup pada orang tuanya. Syukurlah, berkat bimbingan Ratna, Pak Amat kini punya usaha sendiri yakni beternak jangkrik. Dari usahanya ini, ia bisa menghasilkan 26 kg jangkrik setiap bulan yang bisa dijual dengan harga Rp. 20rb – Rp. 30rb per kg.
Menurut Ratna, banyak orang yang berlaku diskriminatif pada penderita kusta karena minimnya edukasi. Masih banyak orang yang belum paham bahwa penularan kusta tidak terjadi dalam waktu singkat, melainkan perlu waktu bertahun-tahun. Stigma buruk masyarakat terhadap kusta memang jadi pe er untuk kita semua. Masih banyak masyarakat bahkan yang berpendidikan tinggi (salah satunya atasan adik saya) yang menganggap kusta sebagai penyait kutukan dan penderitanya harus dikucilkan.
Dibutuhkan kerjasama dari pemerintah, berbagai elemen seperti masyarakat yang terdiri dari beragam profesi, serta komunitas agar edukasi tentang kusta dapat menyentuh semua kalangan, karena sama seperti kita, penderita kusta dan OYPMK juga berhak mendapat perlakukan yang sama. Penderita kusta bisa sembuh, hidup normal dan terus berdaya.
Sebagai blogger, kita juga bisa menulis artikel tentang edukasi kusta ini. Saya yakin, bila blogger seluruh Indonesia bersatu dimulai dari blogger Aceh, Blogger Semarang, Blogger Sulawesi, Blogger Kalimantan hingga blogger Papua menulis tentang kusta, akan semakin banyak masyarakat yang ngeh dan sadar bahwa penderita penyakit ini butuh dukungan kita semua.